BIONOMIKA TERNAK – PENGARUH STRES TERMAL TERHADAP TERNAK SAPI PERAH

Selasa, 16 May 2023

BIONOMIKA TERNAK

PENGARUH STRES TERMAL TERHADAP TERNAK SAPI PERAH

Oleh:

Drh. Rita Dyah K.

  1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan iklim, didefinisikan sebagai ketidakseimbangan jangka panjang pada kondisi cuaca seperti suhu, radiasi, angin dan curah hujan. Perubahan iklim adalah salah satu ancaman utama untuk kelangsungan hidup berbagai spesies, ekosistem dan keberlanjutan sistem produksi ternak di seluruh dunia, terutama di negara-negara tropis dan subtropis. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim [1] melaporkan bahwa suhu bumi telah meningkat 0,2 ° C per dekade dan juga memperkirakan bahwa suhu permukaan rata-rata global akan meningkat menjadi 1,4-5,8 ° C pada tahun 2100. Itu juga menunjukkan bahwa negara-negara berkembang cenderung lebih rentan terhadap peristiwa iklim ekstrim karena mereka sangat bergantung pada sektor-sektor sensitif iklim seperti pertanian dan kehutanan [1]. Baru-baru ini, Silanikove dan Koluman [2] juga memperkirakan tingkat keparahan stres panas (HS) sebagai masalah yang meningkat dalam waktu dekat karena perkembangan pemanasan global. Variasi dalam variabel iklim seperti suhu, kelembaban dan radiasi diakui sebagai potensi bahaya dalam pertumbuhan dan produksi semua jenis ternak domestik. Suhu lingkungan tinggi disertai dengan kelembaban udara yang tinggi menyebabkan ketidaknyamanan tambahan dan meningkatkan tingkat stres yang pada gilirannya menghasilkan depresi

Stres adalah reaksi refleks hewan dalam lingkungan yang keras dan menyebabkan konsekuensi yang tidak menguntungkan berkisar dari ketidaknyamanan sampai mati. Stres panas dapat didefinisikan secara sederhana sebagai kondisi yang terjadi saat seekor hewan tidak dapat menghilangkan suhu panas secara memadai, entah saat suhu diproduksi atau diserap oleh tubuh, untuk memelihara keseimbangan suhu badan. Hal ini dapat memicu tanggapan psikologis dan perubahan tingkah laku, mengarah ke gangguan psikologis yang berpengaruh negatif bagi hasil produksi dan kemampuan reproduksi hewan ternak (West, 2003; Nardone dkk., 2006; 2010). Sesuai Dobson dan Smith [1], terungkap oleh ketidakmampuan seekor binatang untuk mengatasi lingkungannya, sebuah fenomena yang sering tercermin dalam kegagalan mencapai potensi genetik. Rosales [2] mendefinisikan stres sebagai kumulatif efek merugikan dari berbagai faktor pada kesehatan dan kinerja binatang. Stres mewakili reaksi tubuh terhadap rangsangan itu yang mengganggu keseimbangan fisiologis normal atau homeostasis, seringkali dengan efek merugikan seperti yang ditunjukkan oleh Khansari et al. [3]. Menurut Stott [4], stres adalah hasil dari kekuatan lingkungan yang terus bertindakpada hewan yang mengganggu homeostasis menghasilkan adaptasi baru yang dapat merugikan atau menguntungkan bagi hewan. Di antara stres, stres panas telah menjadi perhatian utama dimana pengaruhnyu dapat mengurangi produktivitas hewan di daerah tropis, sub-tropis dan gersang.

  1. Rumusan Masalah

Stress panas pada ternak sapi perah akan mempengaruhi kesehatan ternak tersebut, yaitu berpengaruh langsung ataupun tidak langsung dalam sistem fisiologi, metabolisme, hormonal, dan imunitas normal. Sapi perah yang dibesarkan dalam iklim tropis lebih sering menderita stres panas, akibat produktifitas mereka yang tinggi, mengalami perubahan-perubahan fisiologis dan perilaku yang disebabkan oleh stres panas, di mana suhu lingkungan tinggi, kelembapan relatif, dan radiasi sinar matahari menghalangi penghilangan panas (Silva et al. 2002).

  1. TINJAUAN PUSTAKA

Stres panas (HS) pada Sapi Perah

Stres panas di lingkungan hangat adalah salah satu faktor penting yang dapat berpengaruh negatif pada produksi susu, reproduksi, dan kesehatan sapi perah (Jordan, 2003; Bernabucci dkk., 2010). Efek HS pada kesehatan hewan susu dengan memaksakan pengaruh langsung atau tidak langsung dalam sistem fisiologi, metabolisme, hormonal, dan imunitas normal. HS akan mempengaruhi hal-hal sebagai berikut:

  • Asupan pakan dan fisiologi rumen

Peningkatan suhu lingkungan memiliki efek negatif langsung pada pusat nafsu makan hipotalamus untuk mengurangi asupan pakan [11]. Asupan pakan mulai menurun pada suhu udara 25-26 ° C pada sapi menyusui dan berkurang lebih cepat di atas 30 ° C dalam kondisi iklim sedang dan pada 40 ° C dapat menurun sebanyak 40% [12], 22-35 % dalam kambing perah [13] atau 8-10% pada sapi dara kerbau [14]. Mengurangi asupan pakan adalah cara untuk mengurangi produksi panas di lingkungan yang hangat karena peningkatan panas pemberian makan merupakan sumber penting dari produksi panas pada ruminansia [15]. Sebagai hasil, hewan mengalami tahap keseimbangan energi negatif (NEB), akibatnya berat badan dan skor kondisi tubuh turun [16].

Meningkatkan suhu lingkungan mengubah mekanisme fisiologis dasar rumen yang secara negatif mempengaruhi ruminansia dengan peningkatan risiko gangguan metabolisme dan masalah kesehatan [17,18]. Nonaka et al. [19] hewan yang dilaporkan di bawah HS telah mengurangi produksi asetat sedangkan produksi propionat dan butirat meningkat ketika fungsi rumen diubah. Sebagai respon, hewan mengkonsumsi lebih sedikit serat kasar, mengubah populasi mikroba rumen dan pH dari 5,82 menjadi 6,03 [20], menurunkan motilitas rumen dan perenungan [17,18]. Selanjutnya, mempengaruhi kesehatan dengan menurunkan produksi air liur, variasi dalam pola pencernaan dan mengurangi asupan bahan kering (DMI) [17,18]. Selain itu, HS juga menghasilkan hipofungsi kelenjar tiroid dan efek pada pola metabolisme hewan untuk mengurangi produksi panas metabolik [21].

  • Keseimbangan asam-basa

Hewan di bawah HS telah meningkatkan RR dan berkeringat yang menghasilkan peningkatan kehilangan cairan tubuh yang meningkatkan kebutuhan pemeliharaan untuk mengontrol dehidrasi dan homeostasis darah. Ketika RR meningkat, ekspirasi CO2 melalui paru-paru meningkat. Ini menghasilkan alkalosis pernapasan, seperti konsentrasi asam karbonat darah menurun [22]. Oleh karena itu, hewan perlu mengkompensasi pH darah yang lebih tinggi dengan mengekskresikan bikarbonat dalam urin untuk mempertahankan asam karbonat: rasio bikarbonat [23]. Kompensasi menghasilkan hilangnya bikarbonat kemih dalam upaya untuk menyeimbangkan rasio asam karbonat menjadi bikarbonat dalam darah [21]. Hipertermia kronik juga menyebabkan ketidakcocokan yang parah atau berkepanjangan yang semakin memperparah peningkatan pasokan asam karbonat total dalam rumen dan menurunkan pH rumen sehingga menyebabkan asidosis renal subklinis dan akut [15].

  • Stres oksidatif

Stres oksidatif menghasilkan peningkatan spesies oksigen reaktif (ROS) dalam sel dan jaringan berbeda dari hewan HS yang memiliki dampak negatif pada fisiologi normal dan metabolisme tubuh. Namun, tubuh memiliki antioksidan dalam bentuk enzimatik (superoxide dismutase [SOD], glutathione (GSH) peroksidase dan katalase), grup non-enzimatik (albumin, L-sistein, homocysteine, melatonin dan protein sulfhidril), dan non-enzimatik rendah. antioksidan berat molekul (asam askorbat, GSH, asam urat, ?-tokoferol, ?-karoten, piruvat dan retinol), yang meningkat sebagai hasil dari HS untuk memberikan perlindungan terhadap efek negatif ROS. Secara signifikan (p <0,05) tingkat yang lebih tinggi dari indeks tegangan katalase, SOD, reduktase GSH, dan malondialdehid diamati pada kerbau menyusui dan non-laktasi [24] dan sapi [25] selama musim panas dibandingkan musim semi. Secara signifikan tingkat yang lebih tinggi dari indeks stres diyakini karena stres laktasi karena peningkatan produksi susu menjadi predisposisi kerusakan oksidatif imbas HS di dalam tubuh [25].

  • Sistem kekebalan

Sistem kekebalan tubuh adalah sistem pertahanan tubuh utama untuk melindungi dan mengatasi stres lingkungan. Indikator utama dari respon kekebalan termasuk sel darah putih (leukosit), sel darah merah (RBC), hemoglobin (Hb), volume sel dikemas (PCV), glukosa dan konsentrasi protein dalam darah diubah pada stres termal. Jumlah sel darah putih (leukosit) meningkat sebesar 21-26% [26] dan penurunan jumlah RBC sebesar 12-20% [27] pada sapi yang mengalami penekanan termal yang mungkin disebabkan oleh involusi thyromolymphatic atau penghancuran eritrosit. Sejian dkk. [28] melaporkan variasi yang sangat signifikan dari Hb, PCV, glukosa plasma, protein total dan albumin untuk paparan suhu yang berbeda pada nyamuk malpura. Nilai PCV yang lebih tinggi ini merupakan mekanisme adaptif untuk menyediakan air yang diperlukan untuk proses pendinginan evaporatif [29]. Namun, berbeda dengan temuan ini penurunan kadar Hb dan PCV diamati sebagai hasil lisis RBC baik oleh peningkatan serangan radikal bebas pada membrannya atau ketersediaan nutrisi yang tidak memadai untuk sintesis Hb karena hewan mengkonsumsi lebih sedikit pakan atau mengurangi asupan sukarela pada HS [ 30]. Glukosa darah menurun secara signifikan pada sapi perah HS sesuai dengan aktivitas insulin darah yang lebih besar [9,31]. Pelepasan kortisol plasma meningkat pada hewan yang stres yang menyebabkan down-regulation atau penekanan ekspresi L-selectin pada permukaan neutrofil [32]. Lebih lanjut, ekspresi L-selectin yang buruk ini bertanggung jawab untuk fungsi neutrofil lemah dengan gagal pindah ke jaringan yang diserang oleh patogen dan menghasilkan hasil klinis penyakit setelah terpapar organisme infektif [33]. Meningkatkan sirkulasi kortisol juga menyebabkan peningkatan kadar protein heat shock (HSPs) sel yang berfungsi sebagai sinyal bahaya ke sistem kekebalan untuk mendorong peningkatan pembunuhan bakteri patogen oleh neutrofil dan makrofag melawan bakteri yang menyerang [34]. Oleh karena itu, penilaian reguler dari darah konstituen berguna dalam penilaian status kesehatan hewan di daerah panas-lembab.

Masalah kesehatan seperti ketosis subklinis atau klinis [16] dan risiko lebih tinggi dari lipidosis hati dan merusak fungsi hati [35] ditemui. Sanders dkk. [36] mengamati bahwa insiden kepincangan meningkat dengan peningkatan suhu udara yang dapat disebabkan oleh peningkatan waktu berdiri [37]. Lebih lanjut, kepincangan menyebabkan sol tipis, penyakit garis putih, bisul, dan tusukan tunggal [36] Sesuai, Dhakal et al. [39] juga mengamati kejadian parasit eksternal sebagai peringkat pertama (43,3%) masalah dalam cuaca hangat. Peningkatan THI mengakibatkan peningkatan insiden mastitis pada sapi (p <0,01) Insiden mastitis yang lebih tinggi pada sapi perah dapat disebabkan oleh suhu tinggi yang memfasilitasi kelangsungan hidup dan multiplikasi populasi lalat carrier yang terkait dengan kondisi panas-lembab.

  1. Pengaruh HS terhadap Produksi dan Kinerja Reproduksi dari Sapi Perah

Produksi dan komposisi susu

HS merugikan produksi susu dan komposisinya pada hewan perah, terutama hewan yang memiliki genetik tinggi [42-46]. Berman [7] memperkirakan bahwa beban panas lingkungan yang efektif di atas 35 ° C mengaktifkan sistem respon stres pada sapi perah laktasi. Dalam menanggapi sapi perah mengurangi asupan pakan yang secara langsung terkait dengan NEB, yang sebagian besar bertanggung jawab atas penurunan sintesis susu [46]. Selain itu, kebutuhan pemeliharaan energi juga meningkat 30% pada hewan susu HS [47]. Karena itu, asupan energi tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan harian untuk produksi susu. Penurunan produksi susu hingga 50% pada hewan perah mungkin disebabkan oleh berkurangnya asupan pakan [9], sedangkan, sisanya dapat menjadi alasan adaptasi metabolik terhadap HS karena respons HS secara nyata mengubah karbohidrat pasca-absorptif, lipid, dan metabolisme protein. Peningkatan kadar insulin basal dengan respon insulin yang membaik pada sapi yang stres panas [9,12,46] dan pada induk betina [50] diamati yang menjelaskan pergeseran dalam pemanfaatan glukosa pada jaringan kelenjar non-mammary yang mempengaruhi sintesis susu [12]. HS selama periode kering (yaitu, 2 bulan terakhir kehamilan) mengurangi proliferasi sel payudara dan sebagainya, menurunkan produksi susu pada laktasi berikut [51]. Selain itu, HS selama periode kering secara negatif mempengaruhi fungsi sel imun pada sapi perah yang menghadapi calving dan juga diperluas ke laktasi berikut.

Tahap laktasi merupakan faktor penting untuk keparahan HS dan hewan yang dipaksakan yang berada di pertengahan laktasi sebagian besar sensitif terhadap panas dibandingkan dengan rekan laktasi awal dan akhir [35,53]. Penurunan produksi susu karena HS adalah 14% pada awal laktasi dan 35% pada pertengahan laktasi [35,53].

Lingkungan panas dan lembab tidak hanya mempengaruhi produksi susu tetapi juga mempengaruhi kualitas susu. Kadzere dkk. [15] melaporkan bahwa lemak susu, padatan-tidak-lemak (SNF) dan persentase protein susu menurun masing-masing sebesar 39,7, 18,9 dan 16,9%. Bouraoui dkk. [42] mengamati lemak susu dan protein susu yang lebih rendah di musim panas. Selain itu, analisis fraksi protein juga menunjukkan penurunan persentase kasein, laktalbumin, imunoglobulin G (IgG) dan IgA. 80% dari ini dikaitkan dengan hilangnya produktivitas dan 20% dengan masalah kesehatan yang mungkin disebabkan oleh gangguan mekanisme homeostasis internal [54]. Zheng et al. [55] mengamati bahwa HS secara signifikan mengurangi produksi susu, persentase lemak susu dan persentase protein, tetapi itu tidak berpengaruh pada kandungan laktosa dalam susu. Seleksi genetik terus menerus untuk hasil kinerja yang lebih besar untuk meningkatkan sensitivitas HS dan penurunan tren dalam kurva laktasi serta kualitas susu yang buruk pada hewan susu selama musim panas.

Efek pada kinerja reproduksi jantan

Banteng mengakui sebagai lebih dari setengah kawanan dan karenanya, kesuburan bull sama atau lebih penting untuk pemupukan oosit untuk menghasilkan konsepsi yang baik, layak dan berpotensi secara genetis. Sudah diketahui dengan baik bahwa testis sapi harus 2-6 ° C lebih dingin dari suhu tubuh inti untuk sperma subur yang akan diproduksi. Oleh karena itu, peningkatan hasil suhu testis dari stres termal dapat berubah dalam parameter seminal dan biokimia menyebabkan masalah infertilitas pada sapi jantan. Mishra dkk. [78] dalam sebuah penelitian mengamati bahwa status integritas membran spermatozoa segar dalam empat breed bull yang berbeda (persilangan, Red Sindhi, Haryana dan Jersey) dipengaruhi secara signifikan (p <0,01) dengan peningkatan suhu udara dari 10 hingga 18 ° C hingga lebih dari 35 ° C. Rahman dkk. [79] juga melaporkan bahwa spermatozoa HS menunjukkan tingkat pembuahan yang sangat rendah (p <0,01) dibandingkan dengan non-HS atau spermatozoa kontrol normal (53,7% vs 70,2% atau 81,5%, masing-masing). Bhakat et al. [80] mengamati kualitas semen yang optimal selama musim dingin, miskin selama musim panas dan menengah selama musim hujan.

  • ISI DAN PEMBAHASAN
  1. Kaitan antara atribut fisik dan stres panas dalam sapi perah dari kelompok genetika berbeda

Sapi perah yang dibesarkan dalam iklim tropis lebih sering menderita stres panas, akibat produktifitas mereka yang tinggi, mengalami perubahan-perubahan fisiologis dan perilaku yang disebabkan oleh stres panas, di mana suhu lingkungan tinggi, kelembapan relatif, dan radiasi sinar matahari menghalangi penghilangan panas (Silva et al. 2002). Dalam sapi perah, contohnya, salah satu kendala terbesar adalah mengasosiasikan genotip yang sangat produktif dengan genotip yang telah beradaptasi terhadap lingkungan-lingkungan panas tersebut, sebab sapi-sapi yang lebih beradaptasi umumnya memiliki tingkat konsumsi makanan dan produksi susu lebih rendah (Façanha-Morais et al. 2008).

Peningkatan pada produksi susu di iklim tropis dapat melibatkan penggunaan genotip yang lebih produktif, menyediakan lingkungan yang lebih kompatibel dengan kebutuhan sapi dan penggunaan sapi yang beradaptasi, memilih yang paling produktif (Façanha et al. 2013). Ketika sapi berada di luar zona suhu netral mereka, fungsi reproduksi, parameter fisiologis, dan kinerja terpengaruh secara negatif. Zona suhu netral bervariasi tergantung pada antara lainnya jenis kelamin, usia, jenis, dan status produktif (Tosetto et al. 2014), dan bagi sapi perah suhu netral berkisar antara 10 hingga 20°C (Rodrigues et al. 2012; Nascimento et al. 2013).

Sebagai respons terhadap stres panas, sapi bereaksi dengan perubahan fisiologis dan perilaku dalam upaya mencegah hipertermia. Respons sapi terhadap suhu lingkungan bisa diperkira melalui observasi parameter fisiologis seperti suhu rektum (RT) dan tingkat respirasi (RR) (Perissinotto et al. 2009).

Pencegahan suhu berlebihan dan peningkatan suhu badan hingga titik yang bisa mengancam kesehatan sapi yang mengalami panas ekstrim bisa dilakukan melalui pelepasan panas metabolik dalam kuantitas yang besar (Gebremedhin and Wu 2002). Dalam arti ini, kulit sangat penting dalam proses tersebut, sebab fungsinya adalah untuk menghasilkan, menyerap, meradiasi, mengkonduksi, dan menguapkan panas (Xu et al. 2007).

Beberapa fitur bisa dipakai untuk mengevaluasi adaptasi sapi terhadap panas, termasuk karakteristik fisik mereka (Marai et al. 2007). Menurut Silva (1999), sapi yang cocok untuk diternak di daerah tropis sebaiknya memiliki bulu yang berwarna terang, pendek, tebal, dan bermedula pada epidermis yang sangat berpigmentasi.

Tiga puluh delapan sapi digunakan dalam percobaan 6 hari: 19 Holstein (H100) dan 19 Girolando [½ Holstein-GIr (GH50, n=8) dan ¾ Holstein-Gir (GH75, n=11)]. Pada awal periode analisis mereka masing-masing, sapi Holstein menghasilkan rata-rata 249.15±68.19 hari dalam susu (DIM) dan 14.80±2.59 L hari?1 produksi susu; sapi GH50 menghasilkan 95±72.33 DIM dan 12.40±3.42 L hari?1 produksi susu; dan GH75 menghasilkan 169.3±95.85 DIM dan 14.62±2.95 L hari?1 produksi susu. Pengumpulan data untuk setiap jenis berlangsung selama tiga hari berturut-turut, dengan prosedur eksperimental yang sama bagi jenis-jenis sapi yang berbeda. Namun, sapi-sapi Holstein (H100) dan Girolando (GH50+GH75) dianalisis di tempat dan periode berbeda karena mereka disimpan terpisah.

Penelitian tersusun atas mengakibatkan stres panas dengan mengekspos sapi-sapi terhadap lingkungan tanpa bayangan—tersedia dengan air—antara pemerahan di pagi dan sore hari. Saat prosedur eksperimental, suhu bervariasi antara 21 hingga 34°C (rata-rata 26.61°C) dan kelembapan relatif yang berkisar antara 56 hingga 95% (rata-rata 77.55%) bagi GH75 dan GH50. Bagi sapi-sapi H100, parameter yang sama secara urut berkisar antara 22 hingga 35°C (rata-rata 28.3°C) dan dari 52 hingga 95% (rata-rata 76.68%).

Sapi-sapi H100 berada di kandang free stall, menerima total makanan dalam rasio campuran yang terdiri atas silase dan konsentrat jagung (59% jagung, 35% kacang kedelai, 3.5% inti protein-mineral-vitamin, 0.5% garam mineral, 1% urea, dan 1% bikarbonat); di sela pemerahan, sapi-sapi digiring ke ladang Brachiaria brizantha. GH50 dan GH75 digiring ke ladang Pennisetum purpureum dan diberi makan konsentrat sebelum setiap pemerahan (70% jagung, 25% kacang kedelai, 3.5% inti protein-mineral-vitamin, 0.5% garam mineral, dan 1% urea) dalam kuantitas yang sesuai produksi susu. Teknik-perkandangan dan pemberian makan tidak dirubah atau dirancang penulis, dengan pengecualian satu-satunya yakni membuat stres panas yang disengajakan.

Di hari pertama, karakteristik fisik, parameter fisiologis, dan ukuran termografis diambil. Ciri-ciri fisik setiap sapi dicatat dalam rangkap tiga di waktu bersamaan, yang dicatat adalah ketebalan kulit dan bulu, jumlah dan panjang rambut, dan ukuran badan. Ketebalan kulit diukur menggunakan jangka sorong yang bergradasi sepersepuluh milimeter dan diukur pada bagian-bagian skapula (Sscapula dan Tscapula), punggung (Sback dan Tback), dan panggul (Sflank an Tflank) sapi. Untuk jumlah rambut, sampel diambil dari bagian atas tengah skapula. Area sebesar 1 cm2 ditandai dan diukur dan semua rambut dari area ini dikumpulkan menggunakan tang khusus. Perhitungan jumlah rambut (CountHair) dilakukan dengan cara menyebarkan sampel pada selembar kertas putih (karena rambutnya gelap) dengan alat bantu capit dan jarum sesuai Silva (2000). Untuk mengukur panjang sampel (LengthHair), sepuluh helai rambut terpanjang dari tiap sapi dipisahkan dan diukur menggunakan penggaris. Selanjutnya, panjang rambut rata-rata dihitung sesuai ketentuan Silva (2000).

Pengukuran badan dilakukan dengan alat bantu yakni penggaris pita dan hipometer: tinggi pada gumba (withers) diukur dari jarak dari titik tertinggi dari gumba ke tanah; panjang tubuh (BodyL) terdiri atas jarak antara pangkal buntut dan pangkal leher; panjang punggung (BackL) diukur dari jarak antara ruas tulang belakang lumbar pertama; dan terakhir, besar dada (Chestgirth), diukur dari jarak antara titik di belakang kedua pundak dekat ketiak.

Parameter fisiologis yang dimonitor juga meliputi suhu rektum (RT), tingkat respirasi (RR), denyut jantung (HR), dan skor nafas (PS). RT diukur menggunakan termometer sapi yang dimasukkan ke dalam rektum sapi hingga kedalaman 30 cm selama 3 menit. HR yang dihitung dari jumlah denyut per menit diukur menggunakan stetoskop dan stopwatch selama 30 detik dikali 2 untuk mendapat variabel tersebut dalam bentuk 1 menit. RR yang dihitung dari jumlah nafas per menit diukur menggunakan stetoskop dan stopwatch setelah auskultasi gerakan pernapasan selama 30 detik, kemudian hasilnya dikali 2 untuk mendapat variabel tersebut dalam bentuk 1 menit. Skor nafas ditentukan pada saat mengumpulkan data fisiologis sesuai dengan Mader et al. (2006)—(Tabel 1).

Sebuah kamera inframerah (FLIR T300® System) digunakan untuk mendapat gambar termografis dari bagian-bagian tubuh sapi.

Tabel 1 Skor nafas dalam sapi perah

Skor Deskripsi

0 Pernapasan normal

1 Tingkat respirasi yang sedikit naik

2 Dan/atau adanya air liur atau
sejumlah kecil saliva

3 Adanya saliva, nafas berat dengan
mulut terbuka

4 Nafas ekstrim dengan mulut
terbuka, lidah terulur, air liur
berlebihan, dan leher menonjol

Sumber: Mader et al. 2006

Model matematika untuk mengevaluasi kelompok genetika berdasarkan karakteristik fisik adalah:

Yij ?+breedi+eij

Yij Satu set variabel dependen

Breedi Jenis sapi

? Mean

eij Kesalahan acak yang diasosiasi
dengan setiap observasi

Semua prosedur statistik dilakukan menggunakan SAS untuk Windows versi 9.3 (SAS Institute, Cary, NC, USA). Hasilnya mean HR, RR, dan suhu badan (menurut RT) berbeda banyak (P<0.001) antara kelompok genetika (Tabel 2). Sapi Holstein memiliki mean lebih tinggi bagi RT dan RR namun HR lebih rendah di pagi hari dibandingkan dengan GH50 dan GH75. Tidak ada perbedaan dalam PS untuk masing-masing kelompok genetika. Di siang hari, RT, RR, dan HR dari H100 dan GH75 serupa.

Tabel 2 Parameter fisiologis sapi perah dari tiga kelompok genetik berdasarkan waktu hari

Pagi Siang

GH50 GH75 H100 GH50 GH75 H100

RT 38.24b 37.97b 38.83a 40.03b 40.72a 0.84a

RR 35.50c 44.66b 50.66a 77.00b 107.60a 111.36a

HR 59.17ab 62.26a 56.84b 69.16b 89.46a 99.22a

PS 0a 0a 0a 1.04c 2.13b 3.03a

Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama di baris dan periode hari tidak berbeda besar dalam percobaan pada probabilitas 5%

GH50 sapi Girolando dengan 50% darah Holstein, GH75 sapi Girolando dengan 75% darah Holstein, RT suhu rektum (°C), RR tingkat respirasi (nafas/menit), HR denyut jantung (denyut/menit), PS skor nafas (gerakan/menit)

Sapi Holstein memiliki rata-rata lebih tinggi dalam semua parameter fisiologis, menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut lebih banyak menderita stres panas dibandingkan sapi-sapi Girolando. Sapi perah Holstein kurang toleran terhadap stres panas dibandingkan sapi Girolando (GH50 dan GH75) karena sapi-sapi tersebut mengalami lebih banyak kesulitan dalam menghilangkan panas akibat ukuran badan yang lebih besar, dan juga rambut yang lebih tebal dan panjang. Karakteristik fisik kurang baik untuk menentukan respons fisiologis dan suhu termografis dalam sapi perah, sehingga sebaiknya tidak digunakan.

  1. Pengaruh Stres Panas Sapi Perah Holstein Italia

Stres panas di lingkungan hangat adalah salah satu faktor penting yang dapat berpengaruh negatif pada produksi susu, reproduksi, dan kesehatan sapi perah (Jordan, 2003; Bernabucci dkk., 2010). Ada kepercayaan tradisional mengenai sintesis susu akan menurun ketika ISK mencapai 72 (Johnson, 19855; du Preez dkk., 1990; Armstrong, 1944). Data baru-baru ini dari University of Arizona mengatakan bahwa sapi dengan angka-hasil yang tinggi mulai kehilangan angka-hasil susu pada ISK sekitar 68 (Zimbelman dkk., 2009). Hewan ternak menjadi semakin sensitif terhadap stres panas saat produksi susu naik (Kadzere dkk., 2002).

Data didapatkan dari Italian Holstein Breeders Association—Asosiasi Pembiak Sapi Holstein Italia—(Cremona, Italia) dan terdiri dari 1.488.474 catatan hari pengetesan dari 3 paritas pertama pada 191.012 sapi Holstein. Catatan data dikumpulkan dari 484 peternakan dan tertanggal sejak 2001 hingga 2007. Sapi Holstein Italia adalah sebuah studi kasus yang menarik karena mereka mewakili sekumpulan besar sapi yang telah dipilih dengan hati-hati yang dibesarkan di tempat hangat di sekitaran lembah Mediterania, yang saat ini menjadi salah satu titik panas di dunia karena perubahan iklim (Segnalini dkk., 2011).

Sifat produksi harian yang terdiri atas angka-hasil susu, lemak, dan protein dan persentase lemak dan protein direkam selama bulanan dan mematuhi standar International Committee for Animal Recording—-Komite Internasional untuk Perekam Hewan (https://www.icar.org/Documents/Rules%20and%20regulations/Guidelines/Guidelines_2011.pdf).

Data cuaca juga termasuk suhu lingkungan dan kelembaban relatif paling minimal dan maksimal yang didapatkan dari 35 stasiun cuaca yang terletak maksimum 5 km dari setiap penggiringan sapi, dan data ini terdiri dari informasi cuaca harian selama 7 tahun (2001-2007).

ISK dihitung menggunakan formula berikut ini (Vitali dkk., 2009):

THI= (1.8 × AT + 32) ? (0.55 ? 0.55 × RH) × [(1.8 × AT + 32) ? 58],

dimana THI adalah ISK, AT adalah suhu lingkungan yang dinyatakan menggunakan derajat, dan RH adalah kelembaban relatif. Sehubungan dengan rumus originalnya, formula ini mencakup jangkauan 1.8 × AT + 32, yang memperhitungkan konversi data suhu dari derajat Celcius ke derajat Fahrenheit. Konversi ini dibutuhkan karena kebanyakan data dalam buku-buku yang membahas ISK dihitung menggunakan perhitungan suhu lingkungan dalam skala Fahrenheit. AT maksimum dan RH minimum digunakan untuk menghitung ISK maksimum harian. ISK maksimum harian dipilih karena dapat digunakan paling baik untuk data dari stasiun cuaca publik (Ravagnolo dan Misztal, 2000), dan karena angka-hasil susu dari hari-pengetesan lebih sensitif terhadap angka maksimum ISK dibanding dengan rata-rata ISK harian (Brügemann dkk., 2012). Data produksi disatukan dengan informasi cuaca dengan menentukan tiap catatan hari-pengetesan pada catatan cuaca harian dari stasiun cuaca terdekat.

Pengaruh dari ISK (stres panas) pada sifat produksi dapat dianalisa dengan mencocokan model linear berikut ini (model 1):

Gambar 1. Angka total untuk catatan per tingkatan indeks suhu-kelembaban (ISK) dari paritas. Garis hitam = paritas 1; garis abu-abu gelap = paritas 2; garis abu-abu terang = paritas 3.

Studi ini merepresentasikan penelitian komprehensif pertama mengenai pengaruh ISK pada sapi perah Holstein yang dibesarkan di sekitar lembah Mediterania. Hasil ini mengkonfirmasi pengaruh negatif dari stres panas dari kinerja sapi perah yang dilaporkan pada studi-studi sebelumnya dan mendemonstrasi bahwa pengaruh buruk dari ISK yang tinggi dapat lebih lama daripada yang umumnya dilaporkan pada hari ke-2 ke 4. Luasnya pengaruh terhadap produksi susu bervariasi diantara sifat-sifat dan paritas-paritas. Sapi multipara lebih mudah terkena stres panas, dan turunnya angka-hasil susu dapat mencapai 1 kg/hari. Hasil ini dapat mengkontribusi terhadap manajemen yang lebih baik (strategi untuk membuat grup, sistem pendingin berkipas, nutrisi dan makanan, dan lain lain) dari kumpulan sapi perah dalam mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan panas. Memilih sapi yang memiliki toleransi panas terhambat pada korelasi genetik negatif (contoh tidak menguntungkan) dengan produksi susu. Bagaimanapun, hasil dari studi saat ini mendemonstrasikan bahwa diikutsertakannya pengaruh kovariasi ISK atas estimasi induk jantan ENP mengubah tingkatan induk jantan; induk jantan yang memiliki nilai genetik yang sama (ENP) untuk produksi susu merespons dengan berbeda-beda ketika ISK meningkat. Karena itu, diikutsertakannya ISK untuk memilih kriteria sapi dalam sebuah indeks pemilihan direkomendasikan, terlebih lagi untuk sapi perah yang dibesarkan di lingkungan panas yang bisa menurunkan kemampuan produksinya seiring waktu.

  1. Strategi untuk Memperbaiki HS

Modifikasi fisik lingkungan

Pendekatan yang paling umum untuk memperbaiki HS adalah untuk mengubah lingkungan sapi melalui penyediaan rumah atau tempat teduh (bersama dengan pakan dan air minum), sistem pendingin evaporatif dengan air dalam bentuk kabut, kabut atau taburan dengan gerakan udara alami atau paksa, dan mungkin kolam pendingin [81]. Modifikasi lingkungan mikro untuk meningkatkan mekanisme disipasi panas untuk meringankan HS adalah salah satu langkah yang paling penting untuk dipertimbangkan dalam lingkungan yang panas. Kolam pendingin dan sprinkler juga dapat digunakan untuk mendinginkan lingkungan. Pendinginan juga dapat meningkatkan kinerja reproduksi pada sapi dan sapi, dan mungkin, sistem pendinginan yang paling efektif yang saat ini digunakan adalah yang beberapa pendinginan evaporatif dengan ventilasi terowongan atau ventilasi silang [6]. Sapi perah memungkinkan akses ke alat penyiram (dengan dan tanpa ventilasi paksa) telah meningkatkan produksi susu, meningkatkan reproduksi dan meningkatkan konversi pakan menjadi susu [82]. Shading adalah salah satu cara termurah untuk memodifikasi lingkungan hewan selama cuaca panas. Untuk hewan luar, penyediaan naungan (alami atau buatan) adalah salah satu metode yang paling sederhana dan hemat biaya untuk meminimalkan panas dari radiasi matahari. Pohon sangat efektif dan bahan naungan alami memberikan keteduhan pada hewan yang dikombinasikan dengan pendinginan yang bermanfaat karena uap air menguap dari daun. Nuansa buatan dapat digunakan untuk melindungi dari efek radiasi matahari dalam ketiadaan warna alami. Berbagai jenis bahan atap dapat digunakan dari logam untuk bahan sintetis untuk struktur naungan di antaranya atap galvanis atau aluminium putih dianggap terbaik.

Manajemen nutrisi

Modifikasi nutrisi dapat membantu hewan mempertahankan homeostasis atau mencegah defisiensi nutrisi yang dihasilkan dari HS. DMI rendah selama cuaca panas mengurangi nutrisi yang tersedia untuk penyerapan, dan nutrisi yang diserap digunakan kurang efisien [83]. Ransum harus> 18% protein secara kering karena overfeeding membutuhkan lebih banyak energi untuk mengeluarkan kelebihan nitrogen sebagai urea. Mengoptimalkan protein yang tidak terdegradasi secara genetik meningkatkan produksi susu di iklim panas [83]. DMI dan hasil susu meningkat untuk sapi yang diberi diet yang mengandung 14% dibandingkan 17 atau 21% serat deterjen asam (ADF). Namun, hasil susu kurang sensitif terhadap perubahan suhu susu untuk sapi yang diberi diet ADF 14% [43]. Meningkatkan kandungan lemak diet meningkatkan efisiensi produksi susu dan hasil di musim hangat [84]. Pakan mengandung ransum serat rendah selama cuaca panas adalah logis karena produksi panas sangat terkait dengan metabolisme asetat dibandingkan dengan propionat [81]. HS menyebabkan kerusakan oksidatif yang dapat diminimalkan melalui suplementasi vitamin C, E dan A dan juga mineral seperti zinc [85]. Vitamin E bertindak sebagai inhibitor – “rantai blocker” – peroksidasi lipid dan asam askorbat mencegah peroksidasi lipid karena radikal peroxyl. Ini juga mendaur ulang vitamin E, vitamin C dan seng yang dikenal untuk mengais ROS selama stres oksidatif. Selanjutnya, vitamin C membantu dalam penyerapan asam folat dengan mengurangi ke tetrahydrofolate, yang terakhir lagi bertindak sebagai antioksidan. Penggunaan vitamin C bersama dengan suplementasi elektrolit ditemukan untuk meringankan hewan stres oksidatif dan meningkatkan imunitas seluler-dimediasi pada kerbau [86]. West [83] melaporkan bahwa status Na + dan K + tubuh tetap normal selama HS ketika disuplementasi dengan elektrolit dapat disebabkan oleh pengaturan keseimbangan asam-basa dalam darah yang lebih baik. Suplementasi produk ragi memainkan peran penting dalam cerna gizi dengan mengubah produksi asam lemak volatil dalam rumen, menurunkan produksi rumen amonia dan meningkatkan populasi mikroorganisme rumen. Ragi hidup juga dilaporkan bermanfaat bagi nutrisi dan produksi ruminansia kecil [87].

Seleksi genetik

Kemajuan dalam modifikasi lingkungan dan manajemen nutrisi sebagian meringankan dampak stres termal pada kinerja hewan selama musim panas. Namun, strategi jangka panjang harus dikembangkan untuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Perbedaan toleransi termal ada antara spesies ternak memberikan petunjuk atau alat untuk memilih hewan thermotolerant menggunakan alat genetik. Identifikasi hewan yang toleran terhadap panas dalam breed yang berproduksi tinggi hanya akan berguna jika hewan ini mampu mempertahankan produktivitas dan daya tahan yang tinggi ketika terkena kondisi HS. Ternak dengan rambut pendek, rambut berdiameter lebih besar dan warna bulu yang lebih ringan lebih beradaptasi dengan lingkungan yang panas dibandingkan dengan rambut yang lebih panjang dan warna yang lebih gelap [53]. Fenotip ini telah dicirikan pada sapi tropis B. taurus (senepol dan carona), dan gen dominan ini dikaitkan dengan peningkatan tingkat berkeringat, RT rendah dan RR rendah pada sapi homozigot dalam kondisi panas [88]. Ada gen heat shock terkait dengan thermotolerance yang diidentifikasi dan digunakan sebagai penanda dalam seleksi yang dibantu marker dan seleksi luas genome untuk mengembangkan bull thermotolerant yang digunakan dalam program pemuliaan. Keluarga besar dari Hsps adalah Hsp100, Hsp90, Hsp70, Hsp60, Hsp40 dan Hsps kecil (disebut Hsps ukuran di bawah 30 kDa). HSP memiliki peran penting dalam pemulihan sel-sel dari stres dan di sitoproteksi serta menjaga sel-sel dari penghinaan berikutnya. Ekspresi gen Hsp di bawah perubahan tegangan termal meliputi: (i) Aktivasi heat shock transcription factor 1 (HSF1); (ii) peningkatan ekspresi gen Hsp dan penurunan ekspresi dan sintesis protein lain; (iii) peningkatan glukosa dan oksidasi asam amino dan mengurangi metabolisme asam lemak; (iv) aktivasi sistem endokrin dari respons stres; dan (v) aktivasi sistem kekebalan tubuh melalui sekresi ekstraseluler Hsp. Jika stres berlanjut, perubahan ekspresi gen ini mengarah pada keadaan fisiologis yang berubah yang disebut sebagai “aklimatisasi,” sebuah proses yang sebagian besar dikendalikan oleh sistem endokrin [8]. Beberapa laporan menunjukkan asosiasi SNP pada gen Hsp dengan respon stres termal dan toleransi pada hewan ternak. Asosiasi polimorfisme di Hsp90AB1 dengan toleransi panas juga telah dilaporkan pada sapi asli Thailand [89], Saheiwal dan Frieswal sapi [90], gen HSF1 [91], HSP70A1A gen [92], HSBP1 [93] pada sapi Holstein Cina. Ada gen non-Hsps juga terungkap untuk mengalami perubahan ekspresi dalam menanggapi HS. Misalnya gen ATP1B2 pada sapi Holstein Cina [94] dan gen ATP1A1 pada sapi hasil persilangan jersey [95] telah diamati terkait dengan thermotolerance. SNPs ini dapat digunakan sebagai penanda dalam seleksi bantuan marker untuk mengembangkan hewan thermotolerant di usia dini. Lebih lanjut, banteng termotolerant dapat digunakan dalam kebijakan pemuliaan untuk memiliki bayi yang diadaptasi secara termal.

  1. KESIMPULAN

Jangka waktu yang diperpanjang dari suhu udara yang tinggi ditambah dengan kelembaban relatif yang tinggi mengganggu kemampuan hewan perah untuk membuang kelebihan panas tubuh yang mempengaruhi asupan pakan, produksi susu, dan efisiensi reproduksi dan pada akhirnya mengurangi keuntungan bagi para peternak sapi perah. Namun, dengan meminimalkan suhu tubuh, asupan pakan yang lebih besar dapat didorong. Selain itu, efisiensi kotor dengan nutrisi makanan yang digunakan oleh sapi untuk kinerja juga dapat ditingkatkan. Hilangnya elektrolit melalui sekresi kulit harus diminimalkan dengan peningkatan perumahan dan pendinginan hewan. Standarisasi suplemen mineral untuk mengontrol keseimbangan asam-basa harus dipertimbangkan pada hewan di bawah tingkat stres termal yang berbeda. Meningkatkan tingkat kehamilan sapi HS dapat dicapai dengan meningkatkan berbagai kondisi manajemen. Identifikasi gen yang terkait dengan thermotolerance dan menggunakan gen ini sebagai penanda dalam program pemuliaan atau seleksi penanda dibantu harus diterapkan untuk mengidentifikasi hewan yang beradaptasi dengan stres termal mempertimbangkan interaksi genotipe-lingkungan (G × E) selain produktivitas yang lebih tinggi. Penelitian lebih lanjut tentang pertanian hewan tahan iklim adalah kebutuhan jam untuk keberlanjutan dalam sistem peternakan sapi perah, terutama di daerah iklim yang panas dan lembab.

  1. DAFTAR PUSTAKA

A.H. Ganaie1, Gauri Shanker, Nazir A. Bumla, Ghasura R.S, N.A. Mir, Wani SA and Dudhatra GB.2013. Biochemical and Physiological Changes during Thermal Stress in Bovines. Ganaie et al., J Veterinar Sci Technology.India

Brian Tarr, Ruminant Nutritionist, Shur-Gain. 2016.The effects of heat stress in late gestation dry cows and the subsequent lactation.Australia.

Evelyn Priscila München Alfonzo& Marcos Vinicius Gualberto Barbosa da Silva&

Darlene dos Santos Daltro& Marcelo Tempel Stumpf& Vanessa Calderaro Dalcin&

Giovani Kolling& Vi v i a n F i s c h e r& Concepta Margaret McManus.2015. Relationship between physical attributes and heat stress in dairy cattle from different genetic groups.Dairy Digest.Holland

Ramendra Das,1 Lalrengpuii Sailo,2 Nishant Verma,1 Pranay Bharti,3 Jnyanashree Saikia,4 Imtiwati,5 andRakesh Kumar.2016. Impact of heat stress on health and performance of dairy animals. Vet World

Biffani ,† L. Buggiotti ,* A. Vitali ,* N. Lacetera ,* and A. Nardone.2013 The effects of heat stress in Italian Holstein dairy cattle. Dipartimento di scienze e tecnologie per l’Agricoltura, le Foreste, la Natura e l’Energia (DAFNE), Università

Bernabucci.Italia