INSEMINASI BUATAN PADA KAMBING

Selasa, 16 May 2023

INSEMINASI BUATAN PADA KAMBING

oleh : drh. Rita Dyah

  1. PENDAHULUAN

Inseminasi Buatan (IB) adalah teknologi reproduksi yang bertujuan untuk meningkatkan populasi dan mutu genetik dari ternak. IB adalah pemasukan atau penyampaian semen ke dalam saluran kelamin betina dengan menggunakan alat buatan manusia (Toelihere, 1985). Di Indonesia, IB merupakan satu-satunya teknologi reproduksi yang paling aplikatif digunakan digunakan secara luas, terutama pada ternak sapi.

Teknologi IB mempunyai berbagai manfaat dalam usaha budidaya ternak, disamping itu juga mempunyai beberapa kekurangan. Menurut Toelihere (1985), manfaat IB antara lain:

  1. IB dapat mempertinggi penggunaan pejantan-pejantan unggul, sehingga dayaguna seekor pejantan dengan genetik unggul dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
  2. IB dapat menghemat biaya dan tenaga pemeliharaan pejantan, terutama bagi peternak kecil.
  3. IB dapat mencegah penyebaran penyakit-penyakit menular pada ternak, seperti Vibriosis,Trichomoniasis, Brucellosis dan Leptospirosis.
  4. IB memungkinkan perkawinan antara hewan-hewan yang sangat berbeda ukuran tubuhnya tanpa menimbulkan cedera.
  5. IB dapat memperpanjang waktu pemakaian pejantan yang secara fisik sudah tidak mampu berkopulasi secara normal.
  6. IB memungkinkan perkawinan antara hewan atau ternak yang terpisah waktu dan tempat.
  7. IB sangat berguna digunakan untuk betina yang berada dalam keadaan estrus dan berovulasi namun tidak bersedia untuk dinaiki pejantan.

Sedangkan kekurangan dalam IB antara lain:

  1. Dapat mengakibatkan efisiensi reproduksi yang rendah apabila prosedur inseminasi tidak dilakukan secara benar.
  2. IB memungkinkan penyebaran abnormalitas genetik .
  3. Peternak tidak dapat memilih pejantan yang dikehendaki apabila persediaan pejantan unggul terbatas, dan bila terjadi terus-menerus dapat terjadi inbreeding.
  4. dapat menyebabkan abortus apabila IB intrauterine pada sapi bunting.
  5. IB belum dapat digunakan dengan baik pada semua jenis hewan.

Kegiatan IB pada kambing telah berhasil dilakukan pada beberapa peternakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB, antara lain pemilihan akseptor, kualitas semen, akurasi deteksi birahi oleh para peternak, dan keterampilan inseminator (Hastuti 2008).

  1. PERSYARATAN PEJANTAN IB

Pejantan IB adalah pejantan unggul yang memenuhi syarat teknis baik reproduktif maupun kesehatan untuk dapat ditampung semennya dan diproses menjadi semen beku. Pejantan tersebut dapat berasal dari impor maupun lokal yang mempunyai silsilah keturunan dan sudah terseleksi. Bibit pejantan harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti cacat mata, tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki abnormal (benuk O atau X) dan kuku abnormal serta tidka terdapat kelainan tulang punggung atau cacat tubuh lainnya. Pejantan harus mempunyai sifat genetic transmitted ability (kemampuan menurunkan) anak yang tinggi. Pejantan mempunyai produktivitas kualitas semen yang baik sehingga tidak boleh memiliki cacat pada alat kelamin (Feradis, 2014).

Menurut SNI 7352.1:2015 kambing Peranakan Ettawa pejantan harus memiliki kriteria: warna bulu kombinasi putih-hitam atau putih-coklat, profil muka cembung, tanduk pejantan dan betina kecil melengkung ke belakang, ekor pendek; dan bobot badan 29-54 kg, tingi pundak 67-87 cm, panjang badan 53-63 cm, lingkar dada 71-89 cm, panjang telinga 23-30 cm, dan panjang bulu 11-23 cm. Sedangkan, kriteria Performance kambing Boer diantaranya warna putih, leher hingga kepala berwarna coklat; telinga lebar melengkung; tanduk besar, panjang, dan mengarah ke samping; berasal dari Afrika Selatan dan berat dewasa 110-135 kg.

Secara reproduksi, pejantan harus mempunyai libido tinggi, kesanggupan dan kemampuan mengawini yang baik. Warna semen kambing yang dihailkan berwarna semen putih susu kekuning-kuningan. Selain itu lingkar skrotum harus sesuai dengan standar berdasarkan breed pejantan. Pejantan IB harus bebas dari parasit (baik endoparasit maupun ektoprasasit) dan penyakit hewan menular (Feradis, 2014).

Umur pejantan produktif antara 1 sampai lebih dari 6 tahun, pada beberapa Balai Inseminasi pejantan berumur lebih dari 6 tahun masih banyak dijumpai. Heriyanta dkk (2013) menyatakan bahwa kualitas semen yang terbaik terdapat pada umur 3-4 tahun ditinjau dari motilitas individu dan konsentrasi yang tinggi serta spermatozoa motil dan konsentrasi yang relatif tinggi. Semakin tua umur kambing, maka makin turun kualitas semen. Menurut sebelum pejantan tersebut diafkir, harus sudah disiapkan pejantan pengganti. Spermatogenesis dimulai sewaktu hewan sudah mencapai masa pubertas. yakni 7-8 bulan untuk domba atau kambing. Namun, semakin bertambahnya umur, testis terus berkembang dan menghasilkan lebih banyak sperma (Toelihere, 1985).

  1. PENAMPUNGAN SEMEN

Metode Penampungan Semen

Penampungan semen atau koleksi semen bertujuan untuk memperoleh semen dalam kuantitas dan kualitas tinggi untuk dapat diproses lebih lanjut sebagai semen cair atau semen beku untuk keperluan IB. Penampungan semen menggunakan beberapa teknik diantaranya vagina buatan, elektroejakulator, masase (Sorensen, 1979) dan epipdidymal recovery (Watson, 1978). Vagina Buatan merupakan suatu teknik yang paling efektif diterapkan pada ternak besar (sapi, kuda, kerbau) ataupun ternak kecil (domba dan kambing) yang normal (tidak cacat) dan memiliki libido yang baik (Toelihere, 1985). Kelebihan koleksi atau penampungan semen menggunakan vagina buatan ini adalah bersifat fisiologis sehingga semen yang dihasilkan akan maksimal (Toelihere, 1985; Arifiantini, 2012).

Koleksi semen dengan elektroejakulator merupakan metode yang digunakan untuk hewan liar (harimau, banteng, bison). Elektroejakulator dapat digunaan pada ternak sebagai metode alternatif jika ternak tersebut mempunyai libido rendah atau terdapat gangguan pada bagian kaki sehingga tidak memungkinkan pejantan untuk menaiki betina. Kualitas semen yang dihasilkan biasanya lebih rendah dibandingkan dengan metode vagina buatan. Teknik penampungan semen yang lain adalah masase (pengurutan). Teknik ini umum digunakan pada babi, anjing,atau ayam, dan bisa juga ikan mas. Teknik ini dpat pula diterapkan pada ternak besar dengan masase pada ampula duktus deferens, namun hasilnya tidak sebaik bila menggunakan vagina buatan dan elektroejakulator. Selanjutnya adalah teknik penampungan semen dari cauda epididimis post mortem yang dikenal dengan epididymal recovery. Teknik ini biasa digunakan pada ternak yang telah mati (Arifiantini, 2012).

Persiapan Vagina Buatan

Berikut akan dijelaskan teknik koleksi atau penampungan semen dengan menggunakan vagina buatan, dimana teknik ini merupakan teknik yang paling umum digunakan dan menghasilkan semen dengan kualitas yang baik. Teknik vagina buatan (artificial vagina/AV) menurut Hafez (1993) dilakukan secara alamiah sehingga kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan lebih baik dibanding ketiga koleksi lainnya. Afiantini (2012) menjelaskan bahwa peralatan vagina buatan terdiri atas: 1) tabung vagina buatan dilengkapi dengan pentil udara); 2) inner liner dari bahan karet; 3) coen (corong bahan karet sebagai penghubung tabung vagina dengan tabung semen), 4) tabung semen berskala (terbuat dari gelas atau plastic bermulut lebar), 5) tabung pelindung; 6) pelican steril; 7) thermometer; dan 8) stik pelicin. Cara menyiapkan vagina buatan adalah sebagai berikut:

  • Inner liner dipasang di dalam selongsong karet tebal,kemudian diikat kuat dengan karet pengikat pada kedua ujungnya.
  • Corong karet dipasang pada bagian ujung vagina buatan yang paling dekat dengan klep air panas.
  • Tabung penampung dipasang dan diikat secara ketat dengan karet pengikat pada pangkal corong karet.
  • Air panas dan air dingin dicampurkan hingga suhu mencapai 50-55°C. Suhu air panas yang disiapkan harus memperhitungkan kesiapan dari kambing betina dan kambing jantan. Bila kambing betina telah disiapkan di kandang jepit dan sapi jantan telah siap berada di dekat kambing betina, berarti suhutersebut sudah tepat. Akan tetapi bila kambing btina dan jantan belum siap, suhu air panas yang dimasukkan ke dalam vagina buatan dapat lebih tinggi (60°C).
  • Air hangat tersebut dimasukkan melalui klep air panas sampai penuh, lalu ditutup. Selanjutnya, klep udara dibuka dan udara dipompakan ke vagina buatan.
  • Pelicin (jelly) diberikan pada vagina buatan maksimal 1/3 bagian depan vagina buatan dengan menggunakan tongkat khusus atau thermometer.
  • Suhu akhir sebelum penampungan sangat penting untuk diperhatikan. Suhu akhir vagina buatan harus berkisar antara 41-44°C. Jika terlalu panas, penis kambing akan merasa kesakitan dan akan menarik penis dari vagina buatan dan ejakulasi tidak akan terjadi. Sebaliknya, pada saat suhu vagina buatan di bawah suhu optimal untuk penampungan, ejakulasi tidak akan terjadi secara sempurna.

Setiap penampungan semen harus menggunakan vagina buatan yang berbeda untuk setiap pejantan. Akan tetapi bila ketersediaan vagina buatan terbatas, sedangkan pejantan yang akan dikoleksi lebih dari 1 ekor, penggunaan vagina buatan dapat diulang dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: bagian luar vagina buatan dibersihkan, bagian dalam (inner liner dibilas dengan NaCl fisiologis, suhu dicek kembali dan air panas ditambahkan kembali bila suhu kurang dari 42°C dan pelicin kembali diberikan.

Cara Penampungan Semen

Ternak jantan yang akan dikoleksi sebaiknya dimandikan terlebih dahulu, seluruh badan dibersihkan termasuk daerah praeputium. Bulu praeputium yang panjang dapat digunting dengan menyisakan 1-2 cm. Penampungan semen bisa menggunakan pemancing berupa dummy atau hewan hidup (live mount)(baik jantan atau betina). Penampungan semen dengan menggunakan live mount dilakukan sebagai berikut:

  1. Kambing pemancing ditempatkan pada kandang penampung atau kandang jepit,
  2. Kambing jantan yang akan ditampung semennya harus dibersihkan bagian praeputiumnya dengan air hangat, dan dikeringkan dengan tisu atau handuk kecil yng bersih,
  3. Kambing jantang akan melakukan percumbuan dengan mencium vulva betina pemancing,
  4. Kolektor berada disamping kanan dan berdiri sejajar dengan bagian belakang pemancing. Kambing atau domba mempunyai ukuran tubuh yang kecil, maka saat penampungan semen, kolektor harus menyesuaikan posisi berlutut sejajar dengan lantai.
  5. Vagina buatan dipegang tangan kanan dengan posisi 45°C,
  6. Pada saat kambing jantan menaiki kambing pemancing, praeputium dipegang dengan telapak tangan kiri dan penis diarahkan ke samping. Tahap ini disebut dengan false mount. Tujuannya untuk menghindari terjadinya intromisi dan meningkatkan libido. Pada saat dilakukan false mount, intromisi dan kauda epididimis ke ampula duktus deferens Hal itu disertai dengan keluarnya cairan dari kelenjar cowper, sehingga akan meningkatkan kuantitas dan kualitas semen,
  7. Pada mounting berikutnya, ujung penis diarahkan dan disentuhkan ke mulut vagina buatan. Kambing akan berejakulasi yang ditandai oleh suatu dorongan cepat ke depan.
  8. Setelah terjadi ejakulasi, penis tetap dibiarkan berada di dalam vagina buatan sampai pejantan turun, kemudian vagina buatan ditarik secara perlahan supaya lepas dari penis,
  9. Vagina buatan diputar membentuk angka delapan agar semen seluruhnya turun ke tabung penampung,
  10. Tabung penampung semen dilepaskan, kemudian diberi tanda kode pejantan dan kode ejakulat,
  11. Tabung tersebut ditempatkan pada termos tertutup yang hangat dan segera dibawa ke laboratorium untuk dievaluasi.

(Arifiantini, 2012)

D. EVALUASI KUALITAS SEMEN

Evaluasi semen adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui kualitas semen yang dikoleksi serta menghitung kadar pengenceran maupun jumlah pelayanan terhadap betina yang akan diinseminasi. Semen hasil koleksi sebaiknya disimpan pada water bath suhu 32°C. Evaluasi semen dapat dilakukan secara makroskopis dan secara mikroskopis.

1. Evaluasi Semen secara Makroskopis

  1. Volume

Volume semen dapat dinilai dengan melihat skala pada tabung penampung semen. Jika tabung penampung tidak menggunakan skala, pengukuran semen dapat menggunakan pipet ukur yang dilengkapi dengan bulb. Rata-rata volume semen domba dan kambing adalah 0,5-2 ml (Arifiantini, 2012); 0,9 – 1,2 ml (Lubis dkk, 2013); 1,6 – 2,0 ml (Suyadi, 2003).

  1. Derajat Keasaman

Derajat keasaman semen mamalia berkisar antara 6,2 – 6,9 (Suyadi, 2003); 6-7,5 (Arifiantini, 2012); dan menurut Lubis dkk., (2013) kurang lebih semen kambing mempunyai pH 6,5.

  1. Konsistensi atau derajat kekentalan

Penilaian konsistensi dapat memberikan gambaran konsentrasi spermatozoa yang terkandung di dalam semen. Berdasarkan karakteristiknya, masing-masing ternak akan menunjukkan nilai konsistensi yang berbeda. Cara menilai konsistensi adalah dengan memiringkan tabung yang berisi semen dan mengembalikan pada posisi semula. Kosistensi dapat dinilai berdasarkan kecepatan semen kembali ke dasar tabung penampung.

  1. Encer : semen akan segera kembali ke dasar tabung
  2. Sedang : semen akan segera kembali ke dasar tabung lebih lamabat dari yang pertama, sebagian semen masih menempel di dinding tabung
  3. Kental : semen kembali ke dasar tabung secara perlahan dan menyisakan sebagian smeen di pinggiran tabung

Berdasarkan karakteristiknya, konsistensi semen kambing dan domba adalah sedang sampai kental (Suyadi, 2003; Arifiantini, 2012; Lubis dkk., 2013).

  1. Warna

Toelihere (1985) menyatakan bahwa semen domba dan kambing berwarna krem. Secara umum warna semen adalah putih keruh, putih susu, krem (Suyadi, 2001; Arifiantini, 2012; Lubis dkk., 2013) krem kekuningan, sampai warna putih keabu-abuan (Arifiantini, 2012). Warna tersebut adalah normal, warna yang tidak normal adalah putih kemerah-merahan yang menunjtukkan luka di saluran uretra, atau putih agak kehijau-hijauan yang menunjtukkan adanya kandungan bakteri tertentu (Tolihere, 1985; Arifiantini, 2012).

Warna semen dipengaruhi oleh sekresi kelenjar asesoris, terutama dari kelenjar vesikularis. Warna semen juga dipengaruhi oleh pakan, misalkan jagung yang dapat memberikan warna kekuningan pada semen.

  1. Bau

Bau semen normal adalah bau anyir atau amis (Arifiantini, 2012).

Karakteristik semen segar kambing PE menurut Sohuoka dkk. (2009) adalah sebagai berikut:

Sedangkan Karakteristik semen segar kambing Boer menurut Lubis dkk. (2013) antara lain:

2. Evaluasi Secara Mikroskopis

Evaluasi secara mikroskopis yang umum dilakukan adalah sebagai berikut:

  1. Gerakan spermatozoa
  2. gerakan massa

Arifiantini (2012) menyatakan bahwa gerakan massa adalah evaluasi yang dilakukan untuk melihat gerakan spermatozoa yang bergerak bersama-sama. Penilaian dilakukan dengan melihat tebal tipisnya gelombang massa spermatozoa dan kecepatan gelombang spermatozoa berpindah tempat, dengan criteria sebagai berikut:

+++ : gelombang massa tebal dan cepat berpindah tempat

++ : gelombang massa tebal tapi lambat berpindah tempat atau gelombang massa sedang tapi cepat berpindah tempat

+ : gelombang massa tipis dan lambat berpindah tempat

  • : tidak ada gelombang massa
  1. gerakan individu/motilitas

Gerakan individu atau motilitas adalah gerakan spermatozoa secara individual, baik kecepatan atau perbandingan antara yang bergerak aktif progresif dengan gerakan-gerakan spermatozoa yang lainnya. Penilaian motilitas umumnya di setiap laboratorium dilakukan secara subyektif. Untuk dapat menilai gerakan individu, spermatozoa harus dinilai secara individual. Karena semen mengandung jutaan spermatozoa, semen harus diencerkan menggunakan cairan fisiologis seperti NaCl fisiologis, sehingga memudahkan pengamatan. Perbandingan antara bahan pengencer dengan semen harus memperhatikan karakteristik semen yang akan dinilai, dimana setiap membuat preparat diusahakan setiap lapang pandang yang diamati hanya berisi 10 sampai 20 sel spermatozoa. Semen domba atau kambing dapat menggunakan perbandingan 1:8-10 dengan pengencer (Arifiantini, 2012). Pada umumnya dan yang terbaik adalah gerakan progresif atau gerakan aktif maju ke depan (Toelihere, 1985).

Gerakan invividu dinilai dengan skor kecepatan spermatozoa bergerak ke depan (bisa 1-5 atau 1-3), sedangkan motilitas dinilai dalam persen, dimana yang dinilai adalah sperma yang bergerak aktif progresif (Arifiantini, 2012). Kebanyakan pejantan yang fertile mempunyai 50-80% spermatozoa yang motil aktif progresif (Toelihere, 1985).

  1. Konsentrasi Spermatozoa

Penilaian konsentrasi adalah penilaian jumlah spermatozoa per milliliter semen (Toelihere, 1985). Konsentrasi spermatozoa dapat dinilai dengan beberap cara, dianaranya cara estimasi dengan melihat jarak antar kepala, menggunakan counting chamber, spectrophotometer, photometer SDM 5 atau 6, dan spermacue (Arifiantini, 2012). Konsentrasi sperma kambing menurut Jainudeen et al., (2000) sebesar 2000-6000 x 106 sel/ml, atau 2832 x 106 sel/ml (Krisnawati (2002), sedang menurut Soeparna (1994) konsentrasi sperma kambing Kacang sebesar 4191,6 x 106 sel/ml, atau 2801,43 x 106 pada kambing PE (Tambing, 1999). Menurut Hafez (2000) peningkatan produksi spermatozoa berhubungan dengan umur pada periode setelah pubertas dan perubahan cuaca pada banyak spesies.

  1. Rasio spermatozoa hidup dan mati

Rasio spermatozoa hidup dan mati menurut Graham (2001) mempunyai prinsip yang sama dengan pemeriksaan keutuhan membrane plasma, yaitu berdasarkan pompa ion ke dalam dan ke luar sel spermatozoa.Spermatozoa yang mati mempunyai permeabilitas membrane yang tinggi, sehingga akan menyerap warna yang dipaparkan. Sebaliknya spermatozoa yang hidup tidak akan menyerap warna. Pewarnaan semen untuk melihat rasio spermatozoa yang hidup dan mati biasanya dilakukan menggunakan pewarnaan eosin 2% atau eosin negrosin (Arifiantini, 2012).

  1. Abnormalitas spermatozoa

Morfologi spermatozoa yang abnormal banyak mempengaruhi fertilitas (Chenoweth, 2005; Saacke, 2008). Chenoweth (2005) membagi determinasi abnormalitas spermatozoa ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah kerusakan spermatozoa yang bersifat primer dan sekunder. Abnormalitas spermatozoa yang bersifat primer adlah kelainan yang terjadi pada saat proses spermatogenesis, sedangkan abnormalitas yang bersifat sekunder terjadi setelah spermiasi (pelepasan spermatozoa ke lumen tubulus seminiferus). Kategori kedua adalah kerusakan mayor dan minor. Pengelompokan kerusakan mayor dan minor berdasarkan dampaknya pada fertilotas pejantan tersebut. Kelainan mayor akan berdampak besar pada fertilitas, sebaliknya kelainan yang bersifat minro dampaknya kecil pada fertilitas. Ax et al. (2000) mengelompokkan abnormalitas spermatozoa ke dalam tiga kategori, yaitu primer (mempunyai hubungan erat dengan kepala spermatozoa dan akrosom), sekunder (keberadaan drolet pada bagian tengah ekor), dan tersier (kerusakan pada ekor). Pada domba atau kambing yang mempunyai lebih dari 14 % sperma abnormal di dalam semennya menunjukkan gejala infertilitas apabila pejantan tersebut lama tidak ditampung spermanya. Apabila sperma abnormalnya mencapai 50% maka pejantan tersebut dapat dikatakan steril (Toelihere, 1985).

E. PENGENCER SEMEN

Agar mencapai tujuan suatu program IB, maka daya fertilisasi optimum spermatozoa harus dipreservasi atau diawetkan untuk beberapa lama setelah penampungan. Oleh karena itu semen perlu dicampur dengan larutan pengencer yang menjamin kebutuhan fisik dan kimiawinya dan disimpan pada suhu dan kondisi tertentu yang mempertahankan kehidupan sperma selama waktu yang diinginkan untuk kemudian dipakai sesuai dengan kebutuhan. Semen yang tidak diencerkan setelah penampungan dan dibiarkan dalam suhu kamar harus segera digunakan dalam waktu tidak lebih dari dua jam (Toelihere, 1985). Semen dapat diencerkan lalu disimpan di lemari es suhu 5°C, dan dapat digunakan selama 3-4 hari yang disebut semen cair atau dapat dibekukan untuk dapat disimpan dalam waktu yang lama menjadi semen beku.

Fungsi Pengencer

Spermatozoa tidak dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama kecuali bila ditambahkan beberapa unsure dalam semen. Unsur-unsur yang membentuk suau pengencer yang baik harus berfungsi sebagai berikut:

  1. menyediakan zat makanan sebagai sumber energy bagi spermatozoa. Glukosa dapat dipakai sebagai sumber energy bagi sperma.
  2. melindungi spermatozoa terhadap cold shock. Kuning telur, air susu, mengandung lipoprotein yang dapat melindungi spermatozoa dari cold shock.
  3. menyediakan suatu penyanggah atau buffer untuk mencegah perubahan pH akibat pembetukan asam lakat dari hasil metabolisme sperma. Asam sitrat, Tris, dan fosfat dapat digunakan sebagai unsure penyanggah atau
  4. mempertahakan tekanan osmotic dan keseimbangan elektrolit
  5. mencegah pertumbuhan kuman. Penicilin dan streptomycin dapat digunakan sebagai bahan yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
  6. memperbanyak volume semen sehingga lebih banyak hewan betina yang dapat diinseminasi dengan satu ejakulasi.

Adapun bahan-bahan yang digunakan sebagai pengencer menurut Toelihere (1985) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Bahan pengencer hendaknya murah, sederhana dan praktis dibuat namun mempunyai daya preservasi tinggi
  2. Pengencer harus mengandung unsure-unsur yang hampr sama sifat fisik dan kimianya dengan semen dan tidak boleh mengandung zat-zat yang bersifat toksik atau bersifat racun baik terhadap sperma maupun terhadap saluran kelamin betina
  3. Pengencer harus tetap mempertahankan dan tidak membatasi daya fertilisasi sperma. Pengencer tidak boleh terlalu kental sehingga menghalang-halangi pertemuan antara sperma dan ovum serta menghambat fertilisasi
  4. Pengencer harus memberi kemungkinan penilaian sperma setelah pengenceran. Setelah pengeceran, sebaiknya pergerakan spermanya masih dpaat terlihat dengan mudah agar dapat ditentukan nilai semen tersebut.

Syarat penting bahan pengencer spermatozoa adalah mampu menyediakan zat-zat makanan sebagai sumber energi, mencegah terjadinya cold shock sewaktu penyimpanan dan pembekuan, menjaga pH dan tekanan osmotik yang sama dengan spermatozoa (Salisbury dan Van demark, 1985).

Beberapa bahan pengencer telah banyak digunakan untuk meningkatkan daya hidup spermatozoa setelah pembekuan adalah Tris-kuning telur, susu segar- kuning telur, susu skim-kuning telur, laktosa kuning telur (Gil et al., 2003; Rothe, 2003). Kuning telur dalam pengencer secara rutin telah digunakan sebagai salah satu bahan dalam kriopreservasi semen mamalia yang berfungsi untuk melindungi sperma dari shock termal, aksi ini disebabkan kandungan LDL (Low density Lipoprotein) yang melekat pada membrane seluler selama proses kriopreservasi (Moussa et.al., 2002). Perlekatan LDL pada permukaan membran plasma mengembalikan kehilangan fosfolipid dan menginduksi perubahan sementara dalam komposisinya sehingga mencegah pecahnya membran plasma (Farstard, 1996). Namun demikian, Roy (1957) menyatakan bahwa pengencer yang mengandung kuning telur tidak direkomendasikan untuk semen beku kambing. Hal ini disebabkan karena seminal plasma kambing mengandung enzim yang disekresikan oleh kelenjar bulbo-uretralis, yang bilamana terdapat kuning telur, dengan hidrolisis, akan membentuk lisofosfatidilkolin yang beracun bagi sperma (Leboeuf et al., 2000). Oleh sebab itu, banyak beredar beberapa pengencer komersial Andromed®, Bioexcell®, Triladyl®, Biladyl®, Biochipos Plus ® yang tidak mengandung kuning telur (Gil et al., 2003; Rothe, 2003; Minitub Germany, 2005).

Namun ada juga pengencer yang mengandung kuning telur untuk pembekuan semen beku kambing, seperti tris kuning telur dan skim kuning telur (Konyali et al., 2013), tris kuning telur dan soya lesitin (Yodmingkwan et al., 2016), tris yolk dengan minyak esensial (Sitepu et al., 2018). Kuning telur konsentrasi rendah (2,5%) dalam pengencer cukup baik untuk digunakan pada kriopreservasi semen kambing (Bispo et al., 2011).

Andromed® merupakan salah satu pengencer komersial berbahan dasar tris yang paling populer digunakan untuk pengencer semen beku sapi dan kambing terdiri dari fosfolipid, tris-(hidroksimetil)-aminometan, asam sitrat, fruktosa, gliserol, tilosin tartrat, gentamisin sulfat, spektinomisin, dan linkomisin (Minitub, 2001). Andromed® banyak digunakan oleh Balai Inseminasi sebagai bahan pengencer semen beku kambing karena sangat praktis digunakan dibandingkan pengencer skim-kuning telur atau tris-kuning telur.

F. PEMBUATAN PENGENCER

  1. Andromed®

Penggunaan andromed® sebagai pengencer sering dikombinasikan dengan larutan NaCl atau akuades dengan perbandingan 1:4 (Herold et al., 2006).

  1. Skim-gliserol

Bahan yang disiapkan antara lain susu skim bubuk, aquabidest, glukosa dan gliserol (Vidal et al., 2013). Susu skim 10 gram dipanaskan dengan 100 ml aquabidest sampai suhu 92°C, kemudian disaring dengan kertas saring. Setelah didinginkan, larutan susu skim ditambah 0,0194 gram glukosa, dan 7% gliserol, kemudian dihomogenkan.

  1. Skim-kuning telur-gliserol

Bahan yang disiapkan antara lain susu skim bubuk, aquabidest, antibiotik (streptomycin dan penicillin (1:1), glukosa dan kuning telur. Susu skim 10 gram dipanaskan dengan 96 ml aquabidest sampai suhu 92°C, kemudian disaring dengan kertas saring. Setelah didinginkan, larutan susu skim ditambah 1% antibiotik, kemudian dihomogenkan. Pengencer Skim –kuning telur terdiri dari pengencer A dan B. Pengencer A dibuat dari larutan susu skim-antibiotik 50 ml ditambah dengan 10% kuning telur, dan dihomogenkan. Pengencer B dibuat dari larutan susu skim-antibiotik 50 ml ditambah 10 ml kuning telur dan 2 gram glukosa.

  1. Tris-Kuning Telur-Gliserol

Bahan untuk membuat 100 ml pengencer tris-kuning telur memerlukan: Tris aminomethan 2,422 g; Asam Sitrat 1.36 g; Fruktosa 1,0 g, Penicilin G 0,006 g; Streptomycin sulfat 1,100 g; Kuning telur 2,5% dari volume; gliserol 2% dari volume, dan Aquadest (Mook and Wideus, 2008). Bahan-bahan yang terdiri dari Tris aminomethane, asam sitrat, dan frukosa dimasukkan dalam erlenmeyer dan ditambahkan aquadest serta dihomogenkan dengan stirer magnetik selama 10–15 menit. Setelah dihomogenkan dimasukkan ke dalam panci dan dipanaskan sampai mendidih dengan tujuan untuk sterilisasi. Diturunkan suhunya dari 100oC ke suhu 37oC. Kuning telur, gliserol dan antibiotik dimasukkan dan dihomogenkan selama 15–20 menit. Dimasukkan dalam refrigerator dan setelah 3 hari dipisahkan antara endapan dan supernatan serta yang digunakan hanya supernatannya sedangkan endapan dibuang.

  1. Tris – Gliserol

Bahan yang harus disiapkan dalam membuat tris- gliserol antara lain 0,2 g; fruktosa; 4,0 g Tris; 2,0 g asam sitrat; 1,4 ml gliserol; 2,0 g antibiotik (penicillin) dan akuadest 93 ml (Qureshi et al., 2013). Pembuatan pengencer Tris-kuning telur-gliserol namun tanpa ditambahkan kuning telur.

Penambahan gliserol ke dalam pengencer adalah esensial untuk pembekuan semen, untuk semen yang tidak dibekukan, penambahan gliserol meningkatkan daya tahan hidup spermatozoa terutama pada pengencer susu, namun tidak pada pengencer sitrat-kuning telur (Willet dan Ohms, 1956). McLean (1956) melaporkan bahwa spermatozoa yang diencerkan dengan susu yang ditambah 10% gliserol mempunyai daya tahan hidup dan fertilitas yang baik.

F. PENGENCERAN, PEMBUATAN SEMEN CAIR DAN SEMEN BEKU

Segera setelah penampungan semen dilakukan pemeriksaan kualitas secara makroskopis (volume, warna, konsistensi, bau, dan pH) dan mikroskopis (konsentrasi spermatozoa, persentase motilitas spermatozoa, persentase spermatozoa hidup, persentase membran plasma spermatozoa utuh dan persentase tudung akrosom spermatozoa utuh). Semen yang mempunyai konsentrasi spermatozoa > 600 x 106/ml dan motilitas progresif > 70 % , abnormalitas < 20 % yang diproses lebih lanjut menjadi semen cair dan semen beku (Lubis dkk., 2013). Segera setelah dilakukan evaluasi terhadap kualitas semen segar, semen diencerkan sesuai kebutuhan. Jumlah bahan pengencer yang akan ditambahkan ke masing-masing semen dihitung dengan rumus:

Suhu pengencer harus sama dengan suhu semen pada waktu dicampur, yaitu pada 30°C (penangas) tau 22°-27°C (suhu kamar) atau pada 3°C (dalam lemari es atau kamar pendingin) (Toelihere, 1985). Volume masing-masing pengenceran yang pertama kali ditambahkan pada semen sesuai dengan volume semen yang diperoleh. Selanjutnya ditambahkan sedikit demi sedikit atau bertahap (Toelihere, 1985; Lubis dkk., 2013) sampai volume yang diinginkan terpenuhi kemudian tabung dimiringkan ke depan dan ke belakang agar smen dan pengencer dapat tercampur sempurna (Toelihere, 1985). Konsentrasi semen yang diinginkan bisa 10 juta spermatozoa/ml, 50 juta spermatozoa/ml, atau 100 juta spermatozoa/ml bisa dikemas dalam pool atau straw (Yusuf dkk., 2005). Semen kambing umumnya berisi 50-60 juta sel tiap dosis inseminasi (Sorenson, 1979), namun mengingat tingkat kesulitan tinggi dalam menembus cincin serviks pada ternak kambing dan domba maka banya peneliti menyarankan untuk meningkatkan dosis inseminasi semen cair sampai 50-150 juta (Toelihere, 1993) atau 200 juta dengan volume 0,05-0,2 (Evan dan Maxwell, 1987) atau 0,2- 0,5 (Berden dan Fuquay, 1977). (Jarak waktu antara penampungan semen sampai pengenceran tidak lebih dari 15 menit seperti yang dianjurkan oleh Balai Inseminasi Buatan (BIB) dan disimpan dalam lemari pendingun untuk jadi semen cair (Lubis dkk., 2013).

Sewaktu akan digunakan, semen harus dimasukkan ke dalam kotak atau termos berisi es dan ditutup rapat untuk mencegah penyinaran langsung dan tetap mempertahankan suhu dingin sampai tiba di tempat tujuan. Semen tersebut dapat langsung dipakai atau dimasukkan dan disimpan kembali di dalam lemari es untuk digunakan kembali.

Semen Beku

Semen beku adalah semen yang telah diencerkan dan selanjutnya dibekukan pada suhu tertentu yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan spermatozoa. Keuntungan semen beku adalah semen yang berasal dari pejantan unggul dapat dipakai secara efisien sepanjang tahun, dapat mengatasi hambatan jarak dan waktu, memungkinkan perkawinan selektif dengan pejantan unggul untuk wilayah yang luas, serta biaya pengangkutan relatif lebih murah (Partodiharjo, 1982). Selain itu disebutkan juga kerugian semen beku antara lain biaya produksi dan penyimpanan yang cukup tinggi dan dari 10 – 20% menghasilkan semen yang tidak tahan terhadap pembekuan serta dapat berpoensi menyebarluaskan penyakit-penyakit bakterial dan viral.

Pembekuan sperma adalah suatu proses penghentian sementara kegiatan hidup dari sel tanpa mematikan fungsi sel, dimana reaksi metaboliknya berhenti. Sel tidak bermetabolisme dan dapat dikembalikan ke dalam kondisi hidup normal setelah thawing (Susilawati, 2000).

Proses pembuatan semen beku di Balai Inseminasi Buatan Ungaran yang telah diadopsi oleh (Tuhu dkk., 2013) menggunakan metode dua tahap yaitu sebagai berikut:

  1. Semen yang memenuhi syarat dicampur dengan pengencer A1 yang disimpan dalam water bath suhu 27°C , kemudian dimasukkan dalam beaker glass berisi air dari water bath (water jacket) kemudian disimpan dalam cold top suhu 4 – 5°C 35 menit
  2. Lima puluh menit kemudian dilakukan pencampuran dengan campuran A2 yang telah disiapkan dalam cold top
  3. Pencampuran dengan (buffer antibiotika, gliserol, kuning telur dan glukosa) dilakukan 4 kali setiap 15 menit di dalam cold top (gliserolisasi)
  4. Setelah tahapan selesai dilanjutkan dengan pemeriksaan before freezing, yang harus menunjukkan :
  5. a) Motilitas spermatozoa minimal 55 %;
  6. b) Gerakan individu spermatozoa minimal skor 3 (tiga)
  7. Proses filling dan sealing . Semen beku kambing dan domba dikemas dalam bentuk straw dengan ukuran mini straw volume 0,25 ml dengan jumlah sel spermatozoa minimal 50 juta (SNI, 2014)
  8. Prefreezing straw yang sudah berisi semen cair dan disusun pada rak, kemudian dibekukan di atas permukaan nitrogen cair (N2) dalam storage container dengan suhu (– 110° C sampai dengan – 120° C) selama 9 menit, lalu straw tersebut disimpan dalam N2 cair yang suhunya mencapai – 196° C
  9. Setelah 24 jam dilanjutkan dengan thawing pada suhu 37° C selama 29 detik untuk pemeriksaan post thawing dilakukan dengan pengulangan dua kali harus menunjukkan:
  10. a) Motilitas spermatozoa minimal 40 %;
  11. b) Gerakan individu spermatozoa minimal skor 2 (dua) (SNI, 2014)

Semen beku disimpan di dalam cointainer yang diisi oleh N2 cair. N2 cair adalah zat yang sangat berbahaya dan harus ditangani dengan hati-hati, karena bila kulit kontak langsung dengan N2 cair dapat mengiritasi jaringan tubuh, misalnya mata atau kulit. Selain itu pengecekan N2 cair dalam container harus diperiksa secara berkala dengan menggunakan stik pengukur berwarna hitam, dan segera dilakukan pengisian ulang apabila N2 cair dalam container sudah berkurang (Feradis, 2014).

H. PELAKSANAAN INSEMINASI BUATAN

  1. Deteksi Estrus

Deteksi estrus yang tepat adalah kunci keberhasilan IB, yang didukung dengan kecepatan dan ketepatan pelayanan IB. Tanda-tanda estrus pada sapi betina adalah:

  • ternak gelisah
  • sering berteriak
  • suka menaiki dan dinaiki sesamanya
  • vulva: bengkak, berwarna merah, dan bila diraba terasa hangat (3A bahasa Jawa: Abang, Abuh, Anget, atau 3B bahasa Sunda: Beureum, Bareuh, Baseuh)
  • dari vulva keluar lender yang bening dan tidak berwarna
  • nafsu makan berkurang

Gejala estrus sebaiknya diperhatikan minimal 2 kali sehari oleh peternak. JIka gejala muncul maka segera dilaporkan ke petugas inseminator, agar mendapat pelayanan IB tepat waktu. Waktu dan tempat deteksi estrus juga penting. Keadaan panas saat siang hari dapat menekan tanda-tanda estrus, sehingga paling baik pengamatan dilakukan pada udara yang sejuk, saat pagi atau malam (Feradis, 2014).

  1. Pemeriksaan Betina

Pemeriksaan dilakukan secara umum untuk melihat kondisi alat kelamin betina, yakni dengan cara:

  • melihat ekor dan bagian atas pantat, bila di atas ekor terdapat luka atau kotoran, kemungkinan telah dinaiki oleh kambing lain, ini merupakan tanda-tanda estrus
  • melihat vulva apakah ada lender lendir yang keluar dan menggantung. Apabila lendir transparan, maka ternak menunjukkan gejala estrus, sedangkan bila lendir kotor dan bernanah, kemungkinan ada infeksi.
  • melihat apakah ada luka di vulva atau vagina (Feradis, 2014).
  1. Thawing Semen

Sebelum IB, maka semen harus dicairkan terlebih dahulu yang dikenal dengan istilah thawing, adapun cara thawing semen menurut Feradis (2014) adalah sebagai berikut:

  • menyiapkan air bersuhu ± 37°C dalam wadah yang kira-kira cukup untuk merendam seluruh bagian straw
  • buka tutup container, pilih nomor canister dimana straw yang diinginkan disimpan sesuai catatan
  • angkat canister kira-kira 5-6 cm di atas leher container akan tetapi straw tetap pada batas leher container
  • tahan canister beberapa saat sementara diambil straw yang diinginkan dengan menggunakan pinset, lalu canister dikembalikan ke dalam N2 cair
  • straw digoyangkan beberapa saat untuk mengurangi pengaruh N2 cair dan segera masukkan dalam air suhu 37°C atau 37°-38°C (SNI, 2014) yang telah disiapakan selama 7-18 detik, 15-30 detik (BBIB Singosari), 29 detik (BIB Ungaran) atau 30 detik (SNI, 2014).
  • Straw diambil, dilap tissue, dan dimasukkan ke dalam gun. Semen dapat digunakan dalam waktu 20 menitdan tidak boleh dikembalikan ke dalam N2 cair apabila tidak dipakai.
  1. Pelaksanaan IB

Inseminasi sebaiknya dilakukan pada bagian kedua periode siklus etrus, yaitu antara 12 sampai 18 jam sesudah pertama kali terlihat gejala estrus. Spermatozoa tahan hidup selama 30 jam di dalam saluran kelamin kambing/domba betina. Inseminasi dua kali dalam satu periode estrus cukup praktis bagi kambing (Fraeser, 1962).

Alat yang digunakan untuk inseminasi terdiri dari: spekulum dengan ukuran kurang lebih 18 cm dengan diameter 2 cm, pipet inseminasi dari bahan gelas berukuran 1 ml dengan skala, atau yang lebih praktis dengan gun IB untuk kambing, dan lampu senter.

Langkah-langkah IB kambing adalah sebagai berikut:

  • domba betina jika tersedia ditempatkan di kandang inseminasi, atau kandnag jepit, bila tidak tersedia, ditempatkan di tempat yang memudahkan petugas dalam memeriksa dan menginseminasi kambing betina tersebut
  • pipet inseminasi diisi dengan semen cair yang dibutuhkan, atau bila dengan gun IB, straw dimasukkan ke dalam gun IB dan dipotong ujungnya kemudian gun dibungkus dengan platik sheet.
  • spekulum dilicinkan dengan pelicin dan dimasukkan dengan hati-hati ke dalam alat kelamin betina
  • dengan bantuan senterdan spekulum, gun atau pipet inseminasi dimasukkan ke dalam serviks, dan semen disemprotkan perlahan ke dalam serviks
  • Semua kegiatan IB dicatat dalam buku IB sebagai breeding record (Toelihere, 1985)

DAFTAR PUTAKA

Arifiantini, R. I. 2012. Teknik Koleksi dan Evaluasi Semen Pada Hewan. IPB Press, Bogor.

Ax. R.L., DALly. M.R., Didion, B.A., LeNz R. W. Love C.C., VARner D.D., Hafez B., Bellin M.E. 2000. Semen Evaluation. Di dalam Hafez E.S.E dan B. Hafez. Reproduction in Farm Animal. 7th.ed. USA: Lippincot Williams dan Wilkins.

Bearden, H.J. and J. W. Fuquay. Applied Animal Reproduction. 5th ed. Missisippi State University.

Bispo, C. A. S., Pugliesi, G., Galvão, P., Rodrigues, M. T., Ker, P. G., Filgueiras, B., & Carvalho, G. R. (2011). Effect of low and high egg yolk concentrations in the semen extender for goat semen cryopreservation. Small Ruminant Research, 100(1), 54–58.

Chenoweth, P.J. 2005. Genetic Spermn Defect. Therionology 64: 457-468.

Evans, G and W.M.C. Maxwell. 1987. Salamon’s Artificial Insemination of Sheep and Goat Butterworth. London.

Farstard, W., 1996. Semen cryopreservation in dogs and foxes. Anim. Reprod. Sci. 42, 251–260.

Feradis. 2014. Bioteknologi Reproduksi Pada Tenak. Alfabeta. Bandung.

Fraeser., A. F.1962. A technique for freezing goat semen and results of a small breeding trial. Vet. J. 3: 133.

Graham, J. K. 2001. Assesment of Sperm Quality. Proceedings AAEP. Vol 47.pp. 302-305.

Gil, J., N. Lundeheim, L. Sodequist, H. Rodriguez-Martinez. 2003. Influence of extender, temperature and addition of glycerol on post-thaw sperm parameter in ram semen. Therionology 59: 1241-1255.

Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Philadelphia. Lea and Febiger.

Hafez B and ESE Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Edition. Reproductive Health Center. IVF Andrology Laboratory. Kiawah Island, SouthCarolina, USA.

Hastuti D. 2008. Tingkat keberhasilan inseminasi buatan sapi potong ditinjau dari angka konsepsi dan Service per Conception. Mediagro. 4(1):12-20.

Herold, F.C., K. de Haas, B, Colenbrander and. D. Gerber. 2006.n Comparison of equilibration times when when freezingnepididymal sperm from African Buffalo (Syncerus caffer) using TryladylTM or Andromed®. Therionology 66: 1123-1130.

Jainudeen, M., R. Wahid and E.S.E. Hafez. 2000. Sheep and Goat.

Konyali, C, C. Tomas, E. Blanch, E.A. Gomez, J.K. Graham, E. Moce. 2013. Optimizing conditions for treating goat semen with cholesterol-loaded cyclodextrins prior to freezing to improve cryosurvival. Cryobiology 67: 124–131.

Leboeuf, B., Forgerit, Y., Bernelas, D., Pougnard, J.L., Senty, E., Driancourt, M.A., 2003. Efficacy of two types of vaginal sponges to control onset of oestrus, time of preovulatory LH peak and kidding rate in goats

Lubis, T.M., Dasrul, C.N. Thasmi, dan T. Akbar. 2013. Efektivitas Penambahan Vitamin C dalam Pengencer Susu Skim Kuning Telur terhadap Kualitas Spermatozoa Kambing Boer setelah Penyimpanan Dingin. Jurnal S. Pertanian 3 (1); 347-361.

Mc. Lean, J.M. 1956. Results on the use of bovine semen stored 6-10 days in homogenized whole milk with addition of 10% glyserin. Natl. Assoc. Artif. Breeder News 4 (13). Di dalam Toelihere, R.M. 1985. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa, Bandung.

Minitub. 2001 Certificate Andromed. Minitub Abfullund Labortechnik GmbH and Co KG. Germany.

Mook. J., L. Wideus. 2008. Effect of egg yolk level, washing and extended prefreeze equilibration on postthaw motility of buck semen. Southern Section American Society of nimal Science Annual Meeting, Dallas, TX.

Moussa, M., Martinet, V., Trimeche, A., Tainturier, D., Anton, M., 2002. Low density lipoproteins extracted from hen egg yolk by an easy method: cryoprotective effect on frozen-thawed bull semen. Theriogenology 57, 1695–1706.

Partodiharjo, S. 1982. Ilmu Reprodksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.

Qureshi,M.S., D. Khan., A. Mustaq., S.S. Afridi. 2013. Effect of extenders, postdilution intervals, and seasons on semen quality in dairy goats. Turk.J.vet.Anim.Sci. 36:147-152.

Roy, A., 1957. Egg yolk-coagulation enzyme in the semen and Cowper’s gland of the goat. Nature 179, 318–319.

Saacke, R.G. 2008. Sperm morphology: Its relevance to compensable and uncompensable trits in semen. herionology 70: 473-478.

Sallisburry, G.W. dan N.L. VanDemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sitepu, S.A., U. Zaituni, Jaswandi and Hendri. 2018. Improved quality of frozen boer goat semen with the addition of sweet orange essential oil on tris yolk and gentamicin extender. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 122.

SNI 4869.3. 2014. Semen Beku Bagian 3: Kambing dan Domba. BSN. Jakarta.

SNI 7352.1:2015. Bibit Kambing Bagian 1: Kambing PE. BSN. Jakarta.

Sorenson Jr., A.M. 1979. Laboratory Manual for Animal Reproduction. 4 th Ed. American Press. Boston. USA

Souhoka, D. F., M. J. Matatula , W. M. Mesang-Nalley, dan M. Rizal. 2009. Laktosa Mempertahankan Daya Hidup Spermatozoa Kambing Peranakan Etawah yang Dipreservasi dengan Plasma Semen Domba Priangan. Jurnal Veteriner Vol. 10 No. 3 : 135-142.

Susilawati, T. 2000. Teknologi Perservasi dan Kriopreservasi Spermatozoa dan Ova Program Pasca Sarjana Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang. (Tesis).

Suyadi, 2003. Pengenceran Semen Kambing Dengan Beberapa Pengener Sederhana dan Aplikasinya untuk Inseminasi Buatan. Simetrika22. Malang.

Soeparna. 1994. Studi Biologi Reprodksi Kambing Kacang Muda. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tambing, S. N. 1999. Efektivits Berbagai Dosis Gliserol dan Waktu Equilibrasi Terhadap Kualitas Semen Beku Kambing Peranakan Etawah. Thesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Toelihere, M. R. 1985. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa, Bandung.

Tuhu, A. D., Y.S. Ondho dan D. Samsudewa. 2013. Pengaruh perbedaan waktu pelepasan water jacket dalam proses ekuilibrasi terhadap kualitas semen beku sapi Jawa pada tahap before freezing dan post thawing. Animal Agriculture Journal. 2 (1): 466 – 477.

Vidal A. H., A. M. Batista, E.C. Bento da Silva,W.A. Gomes, M A.Pelinca, S. V. Silva, M. M.P. Guerra. 2013. Soybean lecithin-based extender as an alternative for goat sperm cryopreservation. Small Ruminant Research 109: 47– 51.

Watson, P. F. 2000. The caused of reduced fertility wih cryopreserved semen. Anim. Reprod. Sci. 61-62: 481-492.

Willet, E.L and J.I. Ohms. 1956. Livability of spermatozoa in diluters containing yolk-citrate or nonfat milk solids with glycerol. J. Dairy Sci 39: 1759. Di dalam Toelihere, R.M. 1985. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa, Bandung.

Yodmingkwana, P., S. Guntapromb, J. Jaksamritc, Kr Lertchunhakiat. 2016. Effects of Extenders on Fresh and Freezing Semen of Boer Goat. Agriculture and Agricultural Science Procedia 11: 125 – 130.

Yusuf, T.I., R.I. Arifiantini dan N. Rahmiwati. 2005. Daya tahan semen cair kambing Peranakan Etawah dalam pengencer kuning telur dengan kemasan dan konsentrasi spermatozoa yang berbeda. J. Indon. Trop.Anim.Agric. 30(4).